Jurnal Perilaku Konsumen
Tema : Perilaku
Konsumen
PENTINGNYA
Kualitas Pelayanan DAN KEPUASAN PELANGGAN TERHADAP LOYALITAS KONSUMen
Endang Ruswanti
Universitas Indonusa Esa Unggul
ABSTRAK
Pelayanan ekonomi memiliki peranan sama
dalam perekonomian di negara-negara berkembang tetapi dampak total ekonomi
lebih kecil dari pada aktifitas layanan sehingga mendorong penyedia pelayanan
dapat menemukan metode yang tepat untuk menyenangkan pelanggan, tujuan
penulisan ini adalah untuk mencapai kepuasan pelanggan merupakan konsep yang terkenal dan mandiri
pada beberapa wilayah seperti dalam bidang pemasaran, riset konsumen,
psychologi ekonomi, kesejahteraan ekonomi. Dengan metode yang digunakan berdasarkan
hasil studi pustaka, maka kesimpulannya adalah bahwa kepuasan adalah perasaan
yang dihasilkan dari sebuah proses evaluasi tentang apa yang diterima terhadap
apa yang diharapkan termasuk keputusan pembelian akan barang itu sendiri,
maupun kebutuhan dan keinginan yang di asosiasikan pembelian.
ABSTRACT
Economy has a
role similar services in the economy in developing
countries but the impact is smaller than the
total economy on service activities that encourage serviceproviders to find
the right method to please customers, the purpose of this paper
is toachieve customer satisfaction is a concept well known and
independent on some regions such as in the field of marketing, consumer
research, economic psychology, economic
well-being. With the method used is based on the results
of literature study, then the conclusion
is that satisfaction is the feeling that results from
a process of evaluation about what is acceptable to what
is expected to include a decision to purchase the goods them
selves, as well as the need and desires of the associated purchase.
Pendahuluan
Dekade abad yang lalu dan abad ini
didesain, melalui perkembangan yang cepat terhadap aktivitas layanan dan
semakin penting nilai pelayanan di keseluruhan struktur ekonomi. Hal ini
merujuk kepada negara-negara yang sangat maju dimana aktivitas pelayanan
disebutkan sebagai inspirasi kunci dalam keseluruhan pengembangan sosial dan
ekonomi. Terdapat berbagai kontribusi penting dalam aktifitas kualitas
pelayanan, perkembangan yang cepat dan aplikasi tehnologi modern memperlebar
penawaran sektor pelayanan yang secara signifikan merubah struktur keseluruhan
perekonomian. Tehnologi informasi telah memiliki kontribusi yang besar pada
proses perubahan relasi berbagai aktifitas pelayanan. Banyaknya permintaan atas
jasa pelayanan yang berkualitas tinggi sangatlah penting untuk dicapai agar
kepuasan pelanggan yang direfleksikan secara positif dalam persaingan, untuk
keuntungan bisnis perusahaan pelayanan jasa.
Dipengaruhi oleh percepatan
internasionalissasi perusahaan jasa saat ini, sejumlah studi telah menguji
berbagai penilaian kualitas pelayanan pada budaya negara yang berbeda. Kualitas
pelayanan jasa yang dipersepsikan diantara orang-orang dengan budaya yang
berbeda telah diteliti Sureshchandra (2000; 363). Studi yang komperhensif
tentang perbedaan nilai budaya telah dilakukan Hostede (2007;27). Budaya
disebutkan bukanlah karakteristik individual namun menekankan kelompok yang
dikondisikan oleh pendidikan dan pengalaman hidup yang sama. tujuan penulisan ini adalah untuk memcapai
kepuasan pelanggan merupakan konsep yang terkenal dan mandiri pada beberapa
wilayah seperti dalam bidang pemasaran, riset konsumen, psychologi ekonomi,
kesejahteraan ekonomi. Dengan metode yang digunakan berdasarkan hasil studi
pustaka, maka kesimpulannya adalah bahwa kepuasan adalah perasaan yang
dihasilkan dari sebuah proses evaluasi tentang apa yang diterima terhadap apa
yang diharapkan termasuk keputusan pembelian akan barang itu sendiri, maupun
kebutuhan dan keinginan yang diasosiasikan pembelian.
PEMBAHASAN
Kualitas Pelayanan
Kualitas
pelayanan ditentukan oleh bagaimana tingkat kesesuaian antara pelayanan yang
diberikan dengan pelayanan yang diharapkan pelanggan (Parasuraman dkk, 1994;44)
akin tinggi kualitas pelayanan yang dirasakan akan semakin tinggi tingkat
kepuasan pelanggan. Selanjutnya
semakin berdampak positif pada niat pembelian konsumen. Beberapa studi
mengemukakan bahwa kualitas pelayanan memiliki hubungan yang erat dengan
kepuasan pelanggan. Kualitas pelayanan mempengaruhi kepuasan pelanggan dan pada
akhirnya berpengaruh terhadap loyalitas pelanggan (Cronin dan Taylor, 1992;
56).
Kepuasan pelanggan adalah konskuensi
utama kualitas pelayanan dan dapat menentukan kesuksesan dalam jangka panjang
pada organisasi penyedia jasa (Parasuraman, 1994;240) secara umum kepuasan
pelanggan dipengaruhi oleh ekpektasi pelanggan atau antisipasi awal untuk
menerima pelayanan dan diperkirakan dengan persamaan bahwa Kepuasan pelanggan
sama dengan Persepsi performa dikurangi ekspektasi (Zeithaml (1996;31). Jika
diterjemahkan dalam bentuk pelayanan adalah perbedaan antara kualitas pelayanan
yang diterima dengan kepuasan yang diperoleh. Lebih lanjut konsumen dapat
mendeferensiasikan antara ekspektasi pelayanan dan persepsi pelayanan.
Ekpektasi pelayanan merupakan
kombinasi prediksi antara harapan dan kenyataan yang diterima pelanggan dan
terjadi selama transaksi pembelian pelayanan.
Lovelock dan Weitz (1995;45) mengemukakan bahwa bisnis jasa dipandang
sebagai suatu sistem yang terdiri dari sistem operasi jasa dan sistem
penyampaian jasa. Suatu sistem, bisnis jasa terdiri dari sistem operasi jasa,
dan sistem penyampaian jasa yang merupakan bagian-bagian yang dapat dilihat
oleh konsumen yaitu lingkungan phisik dan
kontak langsung, dan bagian yang tidak terlihat oleh konsumen dianggap sebagai
kegiatan teknis inti, bahkan yang keberadaannya tidak diketahui oleh konsumen,
tapi dapat dirasakan hasil kegiatannya.
Pelayanan
Persepsi pelayanan dapat ditetapkan
sebagai pelayanan global melalui sikap konsumen yang berkaitan dengan
superioritas pelayanan (Oliver 1991; Pasuraman dkk, 1988). Kepuasan pelanggan
merupakan faktor utama dalam menilai kualitas pelayanan, dimana konsumen
menilai kinerja pelayanan yang diterima dan yang dirasakan secara langsung
terhadap suatu pelayanan menurut Cronin dan Tailor (1992). Untuk memahami
hubungan antara kualitas pelayanan yang dipersepsikan dan kepuasan konsumen
secara detail seseorang dengan menggunakan konsep zona toleransi yang dikemukakan oleh Reiman (2008).
Konsep ini muncul dari literatur
manajemen pelayanan dan perilaku konsumen (Reimann dkk, 2008;73). Jika kualitas
pelayanan dibawah zona toleransi pelanggan merupakan dampak dari tingginya
kekecewaan, sedangkan kualitas pelayanan diatas zona toleransi pelanggan
diperkirakan memuaskan atau menyenangkan pelanggan (Berry dan Pasuraman, 1991;
Davis dan Heineke, 1994). Sedangkan Johnston (1995;61) menyebutkan bahwa zona toleransi itu memiliki tiga perbedaan.
Zona pertama merupakan ekspektasi
pra-performa pelanggan, tidak dapat ditolak, dapat diterima atau lebih dari
dapat diterima. Proses pelayanan yang secara langsung berkaitan dengan persepsi
kualitas pelayanan merupakan zona toleransi kedua dan dapat muncul kurang
memadai, selanjutnya menuju kepada performa yang memadai. Zona ketiga adalah
status hasil, yakni menghasilkan pelanggan yang kecewa, pelanggan yang puas
atau gembira (Kennedy dan Thirkell, 1988;9). Sedangkan hasil riset Johnston
(1995;91) menyebutkan sementara manajer pemasaran memainkan peranan penting
dalam mempengaruhi ekpektasi pra-performa, manajer operasional seringkali
memainkan peranan utama dalam mengatur persepsi pelanggan selama pemberian
pelayanan.
Konsep zona toleransi ini sangat
berguna, ketika perusahaan mencoba memahami variabilitas ekspektasi dan
persepsi pelayanan konsumen sebagaimana kepuasan pelanggan. Karena itu
zona-zona ini dapat diajukan sebagai perangkat diagnostik bernilai untuk
menentukan kualitas pelayanan yang dipersepsikan (Kettingger dan Lee 2005;
Liljander dan Stranvinsvik 1993; Pasurahman dkk, 1994). Kualitas pelayanan
didefinisikan sebagai berikut: 1) kualitas adalah penyesuaian spesifikasi 2)
kualitas merupakan pertukaran yang adil antara harga dan nilai jasa 3) kualitas
adalah potensi penggunaan 4) kualitas adalah tahapan dimana spesifikasi
konsumen dipenuhi.
Kualitas
Pelayanan
Kualitas pelayanan dinilai sebagai
keseluruhan harga, kualitas pelayanan memiliki gap antara dimensi kualitas yang
diberikan dengan yang diharapkan konsumen. Parasurahman dkk (1994;210) mengemukakan
bahwa konsumen lebih memiliki kesulitan untuk mengevaluasi kualitas pelayanan
jasa dari pada kualitas pelayanan produk. Persepsi kualitas pelayanan adalah
hasil perbandingan penghargaan konsumen dengan performa pelayanan yang dialami.
Evaluasi kualitas tidak berdasarkan pada pelayanan tetapi atas proses pemberian
pelayanan. Kualitas pelayanan yang dirasakan
merupakan hasil perbandingan antara pelayanan yang diharapkan dengan
yang dirasakan (Bery 1990;34).
Groonros (2001;150) menyebutkan
bahwa terdapat dua dimensi kualitas pelayanan yaitu kualitas fungsional dan
kualitas tehnis. Kualitas tehnis ditentukan melalui jawaban atas pertanyaan apa
yang diperoleh konsumen. Sebagai contoh jika konsumen menabung di Bank maka
konsumen mendapat bunga, jika konsumen belanja direstoran X maka konsumen akan
mendapatkan makanan yang bergizi dengan harga murah. Namun demikian sangat
penting jika kualitas tehnis diberikan pada pelanggan. Itulah mengapa kualitas
fungsional merupakan cara untuk mendapatkan pelayanan. Misalnya jasa
transportasi bus adalah mencapai tujuan tepat waktu. Dimensi kualitas
fungsional akan dapat meningkatkan nilai pelayanan secara lebih besar bagi
pelanggan dan memungkinkan keuntungan kompetitif yang dibutuhkan.
Mengingat bahwa produk kualitas
pelayanan merupakan interaksi antara konsumen dan elemen-elemen dalam
organisasi pelayanan. Leihtinen (Lewis, 1990;11) menyebutkan bahwa terdapat
tiga dimensi kualitas pelayanan antara lain (1) kualitas fisik
merepresentasikan aspek-aspek fisik pelayanan (2) kualitas korporasi
mengekpresikan image perusahaan pelayanan (3) kualitas interaksi yang
dihasilkan dari interaksi antara staff pelayanan dan konsumen, dan konsumen itu
sendiri.
Sedangkan Rust dan Oliver mendukung
model Gronross (2001;151) dengan menambahkan menjadi tiga dimensi yaitu
kualitas tehnis, pemberian pelayanan atau kualitas fungsional, dan lingkungan
pelayanan. Parasuraman dkk (1990;34) telah meneliti dalam empat cabang
pelayanan antara lain perbankan, perusahaan kartu kredit, broker saham dan jasa
pelayanan alat rumah tangga. Temuannya menunjukkan bahwa ekpektasi dan persepsi
kualitas pelayanan dipengaruhi oleh sepuluh (10) faktor meliputi: reliabilitas,
sensibilitas, daya saing, aksesibilitas, etika, komunikasi, kredibilitas,
keamanan, pemahaman dan komitmen konsumen, dan wujud.
Perkembangan selanjutnya pada model
pengukuran kualitas pelayanan yang disampaikan oleh Pasuraman dkk (1994;34)
menyimpulkan bahwa agar sepuluh dimensi dapat diterima maka dikerucutkan
menjadi 5 dimensi sebagai berikut: (1) berwujud adalah objek fisik,
perlengkapan, tampilan pelayanan (2) Reliabilitas adalah kemampuan menyampaikan
pelayanan sesuai dengan yang dijanjikan (3) Sensitivitas meruakan harapan untuk
melayani konsumen dan menyediakan pelayanan yang cepat (4) Keamanan merupakan
pengetahuan dan kesopanan karyawan serta kemampuan mereka untuk dapat dipercaya
(5) Empati adalah kepedulian atau perhatian terhadap konsumen secara
individual.
Keamanan dan empati sebenarnya telah
mewakili tujuh dimensi kualitas pelayanan yakni daya saing, aksessibilitas,
kesopanan, komunikasi, kredibilitas, pemahaman, keamanan dan komitmen konsumen.
Dengan mengurangi jumlah dimensi kualitas pelayanan tidak berarti mengurangi
akurasi pengukuran kualitas pelayanan. Perbedaan opini terjadi pada dimensi
kualitas pelayanan, akan tetapi sulit untuk meniadakan beberapa pendekatan
diatas sebagai pendekatan dianggap yang paling dapat diterima dalam menjelaskan
dan memahami esensi dari persepsi kualitas pelayanan. Zeithamal dan Bitner (2003)
mendefinisikan kualitas pelayanan sebagai penilaian global atau sikap terkait
superioritas pelayanan. Secara umum telah diterima bahwa kualitas pelayanan
adalah merupakan konsep multidimensional. Terdapat beberapa model kualitas
pelayanan dalam literatur. Salah satu model yang digunakan secara luas adalah
SERVQUAL, yang dikembangkan oleh Pasuraman, Zeithaml dan Berry (1990;34). Model
yang diajukan menyebutkan bahwa layanan kualitas diukur dengan lima dimensi:
realibilitas, jaminan, wujud, empati dan respon.
Reliabilitas merujuk pada kemampuan
organisasi untuk melaksanakan pelayanan yang dijanjikan secara handal dan
akurat. Jaminan merujuk pada pengetahuan karyawan dan kemampuan mereka untuk
menarik kepercayaan dan keyakinan. Berwujud merujuk pada lingkungan fisik
organisasi seperti fasilitas-fasilitas, perangkat dan material komunikasi.
Empati merujuk pada kesediaan karyawan dan staff untuk menyediakan perhatian
secara individu pada konsumen. Responsif merujuk pada kesediaan karyawan untuk
membantu konsumen dan menyediakan pelayanan tepat waktu. Setiap dimensi diukur
dengan empat sampai lima item.
Model merupakan seperangkat
manajemen yang berguna karena ditujukan untuk mengindentifikasi kesenjangan
antara ekspektasi konsumen dan persepsi mereka atas pelayanan. Pengukuran
persepsi versus ekspektasi telah menjadi isu yang diperdebatkan beberapa
literatur. Sementara nampak logis bahwa dalam mengindentivikasi kesenjangan
merupakan cara terbaik untuk menentukan kualitas, mengindentifikasi kemungkinan
persoalan dan memprediksi loyalitas. Tian (2002;34) mempertanyakan model
kesenjangan dan menyatakan bahwa dalam mengukur persepsi sendiri mungkin
menjadi indikator kualitas pelayanan.
Kualitas yang lebih baik dari pada
mengukur perbedaan antara ekspektasi dan persepsi seperti yang dikemukakan
oleh Zeithaml (2009;17). Dari sudut
pandang metodologi tidaklah selalu mudah untuk mengadopsi pendekatan
kesenjangan ini. Karena setting kehidupan yang nyata membutuhkan pengumpulan
data dua kali yakni sebelum dan sesudah menggunakan pelayanan jasa. Akan tetapi
dari sudut pandang manajemen untuk mengindentifikasi kesenjangan perlu adanya
evaluasi pelayanan dari pelanggan. Strategi dapat didesain dengan tujuan untuk
menutup kesenjangan-kesenjangan dan menggunakan kesenjangan ini dengan tujuan
memprediksi kepuasan dan niat berperilaku.
Pentingnya mengukur kualitas
pelayanan telah terjustifikasi dengan baik dalam beberapa literatur. Studi
terdahulu telah menunjukkan bahwa evaluasi kualitas pelayanan sangat berkaitan
terhadap niat berperilaku positif dan loyalitas konsumen. Skor negatif dalam
model kesenjangan merupakan menunjukkan kekhawatiran organisasi, karena akan
diartikan bahwa pelanggan akan segera berhenti melakukan pembelian jasa, jika
tidak ada tindakan yang dilakukan. Sebagaimana dijelaskan niat pembelian adalah
merupakan faktor utama untuk mengetahui perilaku pembelian konsumen.
Secara tradisional kualitas
pelayanan telah dikonsepkan sebagai perbedaan antara pengharapan konsumen
mengenai sebuah pelayanan yang akan diterima dan persepsi dari pelayanan yang
diterima (Gronroos, 2001; Parasuraman dkk, 1988 dalam Ahbar dan parvez, 2009).
Kualitas pelayanan jasa juga dikonsepkan sebagai keseluruhan kesan pelanggan
atas inferioritas atau superioritas relatif pelayanan (Zeithaml dkk, 1990).
Sedangkan Parasuraman dkk, (1988) mengindentifikasikan lima dimensi kualitas
pelayanan yang menghubungkan karakteristik pelayanan spesifik pada pengharapan
para pelanggan.
Adapun lima dimensiitu adalah (a)
Nyata-fasilitas fisik, peralatan dan kemunculan pelayan (b) Empati - kepedulian
dan perhatian individual (c) Jaminan kepastian-pengetahuan dan kesopanan
karyawan dan kemampuan dalam memberikan kepercayaan (d) Reliabilitas-kemampuan
untuk menunjukkan pelayanan yang dijanjikan secara akurat dan dapat diandalkan
(e) Kemampuan merespon adalah kemampuan untuk membantu pelanggan dan
menyediakan pelayanan dengan tepat waktu.
Setelah melalui beberapa tinjauan
ulang secara komprehensif tentang kajian kualitas pelayanan, Asubonteng dkk
(1996) telah menyimpulkan bahwa jumlah dimensi kualitas pelayanan bervariasi
dalam industri yang berbeda. Sedangkan Sureshchannda dkk (1988) telah
mengindentifikasi kualitas pelayanan menjadi lima jika dipandang dari sudut
konsumen atau pelanggan. Diantaranya inti pelayanan, elemen manusia dalam
pengiriman tanggung jawab sosial. Ternyata terdapat kemiripan dengan definisi
yang disebutkan (Parasuraman dkk, 1998) layanan, sistematika pengiriman
pelayanan, dan bentuk nyata pelayanan.
Kepuasan
Pelanggan
Zeithaml dan Bitner (2003;209)
menyebutkan bahwa kepuasan adalah respon pemenuhan kebutuhan pelanggan.
Kepuasan merupakan penilaian bahwa sebuah fitur produk atau pelayanan, atau
produk atau pelayanan itu sendiri, menyediakan level pemenuhan terkait konsumsi
yang menyenangkan. Telah disebutkan bahwa kepuasan pelanggan merupakan sebuah
konsep yang lebih luas dari pada kualitas pelayanan karena mencakup evaluasi
kognitif dan afektif. Sedangkan evaluasi kualitas pelayanan merupakan prosedur
kognitif dan afektif dan evaluasi kualitas pelayanan merupakan prosedur
kognitif utama.
Sejumlah studi pada literatur
pelayanan pemasaran telah melaporkan bahwa kedua konstruk kualitas pelayanan
dan kepuasan pelanggan berkaitan dengan sangat kuat (Alexandris dkk, 2001;
Caruana, 2002; Cronin dan Taylor, 1992; Spreng dan Chiou, 2002). Hanya sedikit
yang melakukan penelitian hubungan antara kualitas pelayanan dan kepuasan pada
aktivitas luar ruangan seperti rekreasi kesejumlah tempat-tempat pariwisata.
Zeithaml dkk, (2009) mengemukakan bahwa kualitas pelayanan merupakan komponen
dari kepuasan pelayanan. Faktor penting dalam menentukan kualitas pelayanan
adalah perseived quality yaitu
tingkatan kualitas pelayanan yang dirasakan pengguna atau konsumen, dipengaruhi
oleh pengalaman-pengalaman pelayanan sebelumnya.
Nilai kualitas yang dirasakan adalah
pendekatan menyeluruh dari utilitas suatu produk atau jasa pelayanan
berdasarkan persepsi terhadap apa yang dirasakan atau nilai trade off antara jumlah manfaat dengan
biaya yang dirasakan pelanggan (Zeithaml, 1988; Chen, 2008). Service Performance adalah kinerja dari
pelayanan yang diterima konsumen itu sendiri dan nilai kualitas dari pelayanan
yang benar-benar dirasakan pelanggan. Service
Performance dapat menjawab permasalahan yang muncul dalam menentukan kualitas
jasa karena bagaimanapun konsumen bisa menilai kualitas yang mereka terima dari
suatu produsen tertentu, bukan pada persepsi mereka atas kualitas jasa pada
umumnya (Cronin 1992;68)
Loyalitas Pelanggan
Kepuasan merupakan perasaan senang atau kecewa seseorang
yang muncul setelah membandingkan antara persepsi dengan hasil atau kinerja
suatu jasa dengan harapannya. Kepuasan merupakan prediksi kepercayaan konsumen
terhadap apa yang akan terjadi.
Sedangkan (Chen 2009;12) mengemukakan bahwa konsep kepuasan total adalah
merupakan evaluasi menyeluruh dari konsumen setelah merasakan suatu pelayanan
atas pengalaman sebelumnya Hasil temuannya menunjukkan bahwa kualitas pelayanan
berpengaruh langsung dan signifikan terhadap kepuasan dan berpengaruh positif
terhadap perceived value.
Zeithaml, dan Bitner (2003;203) mengemukakan bahwa kepuasan
adalah evaluasi konsumen dari sebuah produk atau jasa yang dapat memenuhi
kebutuhan dan pengharapan mereka. Komponen sikap, konsumen mewakili pengertian
seperti melakukan pembelian ulang, keinginan merekomendasikan kepada konsumen
yang lain, dan komitmen terhadap perusahaan untuk tidak beralih kepada
perusahaan kompetitor (Cronin dan Taylor, 1992; Narayandras, 1996). Pada
kondisi ataupun bentuk lain aspek perilaku loyalitas konsumen seperti
dicontohkan bahwa konsumen melakukan pembelian ulang, merekomendasikan
perusahaan pada pihak lain, dan mencerminkan kemungkinan untuk memilih merek
dalam jangka panjang (Feick dkk, 2001). Jadi loyalitas konsumen mengekpresikan
perilaku yang dimaksudkan, dan berhubungan dengan produk atau pelayanan
perusahaan.
Pearson (1996) mendefinisikan loyalitas konsumen sebagai
pola pikir pelanggan yang memegang perilaku menguntungkan terhadap perusahaan,
berkomitmen untuk membeli kembali dan merekomendasikan produk atau jasa
pelayanan kepada orang lain. Boselie dkk, (2002) mengemukakan bahwa kepuasan
adalah keadaan positif afektif yang dihasilkan dari penilaian keseluruhan
aspek, hubungan satu pihak dengan pihak lainnya. Kepuasan merupakan salah satu diantara
beberapa penyebab terbentuknya loyalitas konsumen. Sebagaimana didefinisikan
oleh para peneliti bahwa loyalitas konsumen sebagai suatu bentuk sikap dan
perilaku konsumen.
Krittinger (2005;623) mendefinisikan loyalitas bahwa
pelanggan lebih mengarah kepada perilaku, yang ditunjukkan dengan suatu
pembelian rutin berdasarkan proses pengambilan keputusan. Konsumen yang
memiliki loyalitas tinggi terhadap perusahaan merupakan aset yang bernilai bagi
perusahaan. Adapun karakteristik
konsumen yang memiliki loyalitas tinggi memiliki ciri bahwa pelanggan
melakukan pembelian ulang secara teratur, pelanggan dalam membeli juga membeli
di luar lini produk atau jasa, pelanggan mengajak orang lain untuk melakukan
pembelian, pelanggan menunjukkan kesetiaan dengan tidak membeli produk atau
jasa perusahaan pesaing.
Kualitas Pelayanan jasa
jasa
|
Gambar 1: Hubungan antara kualitas
pelayanan, kepuasan pelanggan terhadap Loyalitas pelanggan
(Sumber: Zeithaml, Bitner dan Glemler, 2009)
PENUTUP
Kesimpulan
Kepuasan pelanggan adalah konskuensi
utama kualitas pelayanan dan dapat menentukan kesuksesan dalam jangka panjang
pada organisasi penyedia jasa (Parasuraman, 1994;240) secara umum kepuasan
pelanggan dipengaruhi oleh ekpektasi pelanggan atau antisipasi awal untuk
menerima pelayanan dan diperkirakan dengan persamaan bahwa Kepuasan pelanggan
sama dengan Persepsi performa dikurangi ekspektasi (Zeithaml (1996;31). Jika
diterjemahkan dalam bentuk pelayanan adalah perbedaan antara kualitas pelayanan
yang diterima dengan kepuasan yang diperoleh. Lebih lanjut konsumen dapat
mendeferensiasikan antara ekspektasi pelayanan dan persepsi pelayanan. Ekpektasi
pelayanan merupakan kombinasi prediksi antara harapan dan kenyataan yang diterima
pelanggan dan terjadi selama transaksi pembelian pelayanan. Lovelock dan Weitz (1995;45) mengemukakan
bahwa bisnis jasa dipandang sebagai suatu sistem yang terdiri dari sistem
operasi jasa dan sistem penyampaian jasa. Suatu sistem, bisnis jasa terdiri
dari sistem operasi jasa, dan sistem penyampaian jasa yang merupakan
bagian-bagian yang dapat dilihat oleh konsumen yaitu lingkungan phisik dan kontak langsung, dan bagian yang
tidak terlihat oleh konsumen dianggap sebagai kegiatan teknis inti, bahkan yang
keberadaannya tidak diketahui oleh konsumen, tapi dapat dirasakan hasil
kegiatannya.
Saran-saran
1. Keterbatasan penelitian yang
dilakukan oleh Ahbar dan Paarvez (2009) perlu dilanjutkan antara lain data
terbatas pada satu pelanggan perusahaan swasta telekomunikasi sehingga hasilnya
berkemungkinan tidak sesuai dengan perusahaan komunikasi lain. Hasil temuan
penelitian tidak bisa digeneralisasi untuk semua pelanggan di negara tersebut.
Penelitian ini bukan penelitian eksperimen sehingga tidak mungkin untuk
mengeliminasi pengaruh variabel luar yang tidak diinginkan.
2. Hasil survey temuan Strauss, 2004
dalam Abdallat dan El-Emam terhadap responden 364 menunjukkan terdapat
kelemahan hubungan antara kepuasan pelanggan terhadap loyalitas.
DAFTAR PUSTAKA
Asubonteng, P., McCleary, K. J. dan Swan, J. E. “SERVQUAL
revisited: a critical
Review of
Service Quality”. Journalof Services Marketing, Vol.10, No: 6, 1996.
Bitner, M. J. dan Zeithaml, V. A. “Service Marketing (3rd
ed.), Tata McGraw Hill,
New Delhi.
2003.
Boeselie, P., Hesselink, M. dan Wiele, T.V . “Empirical
evidence for the relationship
Between
Customer Satisfaction and Business Performance”. Managing Service
Quality, Vol. 12, No: 3, 2002
Cronin Jr. J.J, Tailor, SA, “Measuring Service Quality: a
Reexamination and
Extension”
Journal of Marketing Vol. 56, 1992
Grönroos, C. “The perceived service quality concept - a
mistake?” ManagingService
Quality, Vol. 11, No: 3, 2001
.
September
23, 2007.
Johnston, Robert “The Zone of Tolerance: Exploring the
Relationship between Service
Transactions and Satisfaction with
the Overall Service,” International Journal of
Service
IndustryManagement,
Vol. 6, No:2, 1995
Kettinger, W. J. dan Lee, C. C. “Perceived service quality
and user satisfaction with the
information services functions” Decision
Sciences, Vol. 25, No: 5,1994
Kennedy, John R. and Peter C. Thirkell (, “An Extended
Perspective on the Antecedents of
Satisfaction,” Journal ofConsumer
Satisfaction, Dissatisfaction and Complaining
Behavior, Vol. 1, No: 1, 1998.
Kettinger, William J. and Choong (Zones of Tolerance: Alternative Scales for
Measuring
Information Systems Service Quality,” MIS Quarterly, Vol. 29,
No:4, 2005
Lewis, B. R.dan Mitchell, V. W. “Defining and measuring the quality of Customer
Service”’. Marketing Intelligence and
Planning, Vol. 8, No:6, 1990.
Parasuraman, A., Leonard L. Berry, and Valarie A. Zeithaml ,
“Guidelines for
Conducting Service Quality
Research,” MarketingResearch, Vol. 2, No:4, 1990
Parasuraman, A. Zeithaml, V. A., Berry, L. “Alternative Scales For Measuring
Service Quality: A Comparative Assessment Based on
Psychometric and Diagnostic
Criteria,”Journal of Retailing Vol.
70, No; 3. 1994
Pearson, N. “Building brands directly: creating business
value from customer
Relationships”. Macmillan Business, Vol. 20, No: 6, 1996.
Reimann, M, Lunemann, U.F, dan
Chase, R.B, “ Unsertainity avoidance as a Moderator
of the Relationship Between Perceived
Servise Quality and Customer Satisfaction”
Journal of Servise Risearch
Vol. 11 No: 63, 2008
Sureshchanndra, G. S., Rajendran, C. dan Anantharaman, R. N.
“The Relationship
Between Service Quality and Customer Satisfaction - a Factor Specific
Approach”.
Journal
of Service Marketing, Vol. 16, No: 4,
2003
Tian-Cole, S., Crompton, J., dan Wilson, V. An Empirical
Investigation of The
Relationships Between Service Duality, Satisfaction and Behavioral
Intentions
Among
Visitors to a Wildlife Refuge. Journal of
Leisure Research, Vol. 34, 2002
Zeithaml, V.A,. Bitner, M. J,.
Gemler, D.D,. “Services Marketing, 5th
Edition, Mc Graw
Hill, Singapore. 2009
Zeithaml, V. A., dan Bitner, M. J. “Services Marketing: Integrating Customer Focus
Across the Firm” New York: McGraw-Hill. 2003
Zeithaml, V., Berry, L., Parasuraman, A. The Behavioural
Consequences of Service
Quality. Journal of Marketing,
Vol. 60, 1996.